Minggu, 29 Desember 2013

Eksistensi Pemuda Persis di Tengah-Tengah Modernitas

0


Oleh: E. Ruswandi

PENDAHULUAN

Hampir setiap negara dewasa ini, terutama negara berkembang, bergerak dengan sebuah dorongan “kehendak untuk menjadi modern”, berjalan menuju ke suatu arah yang disebut sebagai “kebudayaan modern”. Modernisasi menjadi proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan. Dan jika kita memahami modernisasi sebagai proses fisik dan material untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam wujud mekanisme industri, strategi militer, sistem pendidikan, sistem informatika, aneka macam bisnis, dan sebagainya, maka sosok “kebudayaan modern” itu dapat diamati, nampak jelas di mata kita. Akan tetapi, demi mengejar ketertinggalan menuju ke arah sana, banyak negara berkembang tergesa-tergesa mengambil tindakan tanpa bersikap kritis. Mereka hanya mengambil sikap pragmatis, enggan membuang waktu untuk menilik kenyataan “mental” di baliknya.

 
Persoalan menjadi lain kalau kita memperhatikan para pemikir yang langsung terlibat dalam masyarakat industri maju di Barat yang mengambil sikap kritis terhadap kebudayaan ilmiah modern yang memang sudah terjadi di sana. Bagi para pemikir tersebut, selain memberi manfaat yang besar bagi kehidupan manusia modernitas bersama agen-agennya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki problema yang tak kalah besar yang mengancam kehidupan manusia.

Sejak awal abad ke-20, beberapa pemikir Barat memiliki kesangsian yang mendasar terhadap modernitas. Para pemikir, seperti Martin Heidegger, Horkheimer dan Adorno, berusaha memperlihatkan bahwa modernisasi bukan sekedar perjalanan yang terseok-seok, melainkan juga perjalanan ke sebuah disintegrasi total, sebuah malapelataka sejarah umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty, Foucault, dan Derrida, juga terkandung “nafsu” yang sama untuk menyingkapkan bahwa “kehendak untuk menjadi modern” tak kurang dari “kehendak untuk berkuasa”. Diskusi mereka mempertaruhkan sebuah akses pengaruh ke dunia praktis justru karena mereka membicarakan apa yang kurang disadari oleh para praktisi modernisasi dan pembangunan, yaitu soal dehumanisasi, alienasi, totalitarianisme birokratis, teknokratisme, dan fenomena-fenomena krisis lainnya.

Di antara tokoh-tokoh tersebut, ada beberapa yang tergabung dalam kelompok yang disebut Mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule). Pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut dengan nama Teori Kritik Masyarakat (Kritische Theorie der Gesellchaft) atau “Teori Kritis”. Apa yang telah digarap oleh para tokohnya adalah melukiskan bagaimana proses rasionalitas masyarakat bermuara ke dalam sebuah tragedi besar. Karena mendewakan rasionalitasnya yang semula dianggap memberi otonomi dan kebebasan, manusia modern justru terperangkap dalam jaringan birokrasi yang impersonal dan kehilangan makna serta aspirasinya sebagai makhluk bermartabat. Rasionalitas yang semula sangat kritis terhadap mitos-mitos tradisional yang menteror manusia pada gilirannya menjadi mitos atau ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.


PEMBAHASAN

Pengertian Modern

Ada beberapa pendapat mengenai modernisasi, diantaranya:
Modernisasi adalah proses pembangunan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan.
Widjojo Nitisastro: modernisasi mencakup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis

Soerjono Soekanto: modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan Sosial Planing.

Istilah “modernitas” merupakan substansiasi kata sifat “modern” (Latin: moderna), yang artinya adalah “saat ini”, atau sering juga persis searti dengan “baru”. Konsep “modernitas” juga diartikan baik sebagai konsep waktu (zaman baru) maupun sebagai konsep epistemis (kesadaran baru). Secara epistemis, modernitas terdiri atas empat elemen pokok. Pertama, subjektivitas yang reflektif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.

Kedua, subjektivitas berkaitan dengan kritik atau “refleksi”, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, tak terulangi, dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang langka. Sebab itu, modernitas memiliki kata-kata kunci seperti revolusi, evolusi, transformasi, dan seterusnya. Artinya, kebaruan itu mungkin. Dengan singkat, modernitas mendukung rasionalitas (lebih dari wahyu), kritik (lebih dari sikap naif), dan progres (lebih dari pemeliharaan tradisi). Dan elemen keempat yang mendasari ketiga yang lain adalah universalisme. Dengan itu dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas itu bersifat normatif untuk segala masyarakat yang mau melangsungkan modernitas. Secara historis, sifat normatif ini diaktualisasikan dalam gerakan humanisme Renaisans abad ke-16 dan perkembangan sains dan teknologi yang sangat menentukan gerakan-gerakan Pencerahan abad ke-18 di Eropa. Sejak suatu masyarakat melangsungkan modernisasi, masyarakat itu kehilangan sikap naifnya, dan melibatkan diri pada suatu ”proyek sejarah universal” untuk mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Namun ternyata, bagi sebagian kalangan terdapat problema dalam modernitas dan segala upaya yang menuju ke arah sana (modernisasi). Weber misalnya, menyebutkan bahwa modernisasi tak lebih dari “rasionalisasi” (Rationalisierung). Modernitas adalah suatu rasionalisasi, yaitu perluasan rasionalitas ke segenap sektor kemasyarakatan, sebagaimana tampak dalam birokratisasi dan kapitalisasi.

Postmodernis, misalnya, marah terhadap upaya tersebut, karena wataknya yang bukan hanya universalistis, melainkan juga totaliter. Bataille mengkritik rasionalisasi tak kurang sebagai homogenisasi, dan Foucault menyingkapkannya sebagai praktek kuasa untuk mengeksklusi mereka yang tidak “rasional”. Karena itu, rasionalisasi adalah represi totaliter yang tersentralisasi serta mengeliminasi heterogenitas. Ekses itu secara historis terbukti dalam proyek Stalinisme, Nazisme, Fasisme, tetapi juga teknokratisme, yang menyingkirkan pluralisme pendapat. Singkatnya, ekses itu adalah totalitarianisme baru (gaya lama: totalitarianisme agama).

Kritik Mazhab Frankfurt terhadap kebobrokan masyarakat modern dilakukan dalam dua cara. Pertama, menelusuri kembali akar munculnya cara berpikir positivistik masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi dalam masyarakat Barat. Kedua, menunjukkan bahwa cara berpikir positivistik yang mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku sebagai ideologi yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern. Melalui kedua cara ini mereka ingin mengkritik bukan hanya masyarakat modern sebagai struktur  yang menindas, melainkan terlebih cara berpikir positivistik yang menjadi ideologis dan mitos dalam arti sesungguhnya.

Menurut pandangan Mazhab Frankfurt, peradaban Barat yang telah dirintis sejak masa Yunani purba itu terjebak dalam proses pembusukan dan keruntuhannya dengan munculnya cara berpikir saintis yang menguasai masyarakat Barat sehingga menghasilkan Perang Dunia II, fasisme, Stalinisme, dan cara hidup konsumeristis dalam masyarakat kapitalis Amerika Serikat. Fenomen itu, menurut mereka dilatarbelakangi oleh penerapan cara berpikir positivistik melalui teknologi dan ilmu pengetahuan pada masyarakat, agar masyarakat itu dapat dikontrol seperti alam.


Peranan Agama dalam Kehidupan Modern-Industrial

Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami – atau malah menderita – ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang, menurut Ashadi Siregar, hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan – suatu pernyataan yang bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah obyektiviitas. Dengan sendirinya obyektivisme itu akan sering berbenturan dengan subyektivisme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu dan teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya. Sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi yang antagonistis dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut tadi.

Bangsa Indonesia sekarang sedang membangun. Dalam pembangunan itu yang diusahakan ialah peningkatan kemampuan ekonomi, sekalipun Indonesia tidak termasuk negara maju dengan masyarakat modern, namun ia menghadapi persoalan modern. Dalam hubungannya dengan agama ialah, apakah ia masih mampu berperan dalam memberikan alternatif cara hidup yang tidak terlampau terikat pada ukuran-ukuran materiil. Hal itu berarti, dengan perkataan lain, apakah agama sanggup menjadi sumber inspirasi dan konsep bagi suatu pola pembangunan yang dapat dijadikan alternatif bagi yang ada sekarang?

Industrialisasi sebagai salah satu alternatif yang mampu membebaskan manusia dan mendobrak tembok-tembok penghalang di dunia ini, ternyata juga menimbulkan keadaan sebaliknya, yaitu proses depersonalization yang juga berarti dehumanization menjadikan alienasi (keterasingan) seseorang dari diri dan kemanusiaannya sendiri.

Sekarang apakah yang diperlukan oleh masyarakat industrial yang melahirkan alienasi itu?
Yang jelas, “mengembalikan jalannya jarum jam” adalah sesuatu yang tidak mungkin. Industrialisasi merupakan proses sejarah. Bukan karena suatu determinisme sosial dan historis, tetapi agaknya itulah yang menjadi ketetapan hati semua bangsa di dunia. Tetapi manusia memerlukan sesuatu yang sekurang-kurangnya mempunyai efek pengereman kecenderungan dan sifat dasar masyarakat industrial tadi. Manusia memerlukan sesuatu yang dapat secara pasti memberikan jawaban atas pertanyaan: apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini? Mungkin sesuatu itu ialah agama.

Mengapa saya menyebutkan “mungkin”, karena memang keraguan segera timbul jika melihat kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Skeptisisme ini sepenuhnya beralasan, karena memang senantiasa ada jurang- lebar atau pun sempit – antara ajaran dan kenyataan. Maka yang dimaksudkan dengan agama disini ialah dalam bentuknya yang mendalam dan universal (keagamaan an sich), bukan yang ada secara sosiologis.

Dengan menyadari kesulitan yang amat besar untuk menegaskan tentang apa yang dimaksudkan dengan “agama murni”, namun kiranya beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan pangkal tolak penelaahan dan perenungan lebih lanjut:
1.    Kebutuhan atau kepercayaan kepada Alloh SWT dengan segala atributnya.
2.    Hubungan yang “personal” dan intim dengan Alloh SWT.
3.    Doktrin dengan fungsi-sosial harta kekayaan: tujuan hidup bukanlah pada terkumpulnya kekayaan itu tetapi pada cara mendapatkan dan penggunannya untuk sesama manusia.
4.    Pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak dapat didekati secara empiris atau induktif, melainkan dengan cara deduktif atau “percaya”.
5.    Kepercayaaan akan adanyaa kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya.

Dengan asumsi bahwa kita semua telah mengetahui tentang doktrin atau ajaran-ajaran agama, sekalipun pokok-pokoknya saja, maka uraian ini lebih menekankan kepada arti penting (significance) ajaran-ajaran itu di dalam masyarakat, khususnya masyarakat industrial, dengan terlebih dahulu mencari pengertian tentang sifat-sifat dan akibat-akibat masyarakat industrial itu yang mengandung nilai kemanusiaan, positif maupun negatif.


Masyarakat Industeri dan Proses Dehumanisasi

Perlu kita ketahui terlebih dahulu nilai-nilai yang dominan di dalam masyarakat industrial, sebab
dehumanisasi adalah suatu proses yang yang menyangkut masalah nilai-nilai.
Masyarakaat industrial menuntut dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan.

Untuk menjadi industrial, suatu masyarakat harus disiapkan untuk menerima nilai-nilai yang bakal menunjang proses industrialisasi itu. Tetapi lebih penting lagi ialah bahwa setiap idustrialisasi, dikehendaki ataupun tidak, pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh suatu masyarakat non industrial. Keharusan-keharusan itu, betapapun buruknya, menjelma menjadi tata nilai resmi. Pelanggaran-pelanggaran atas nilai itu  akan mengakibatkan sanksi-sanksi yang langsung dirasakan oleh pelakunya menurut ukuran-ukuran masyarakat industrial itu sendiri.

Masyarakat industri, berbeda dengan masyarakat-masyarakat non-indusrtial, menunda upah dan kesenangan kepada pekerja sampai saat yang telah disetujui bersama, seperti awal bulan sebagai hari-hari menerima gaji, hari Minggu sebagai hari bebas kerja, sistem cuti dan lain-lain.

Norma-norma itu, itu kalaupun ada pada masyarakat non-industrial, adalah jauh lebih berfungsi pada masyarakat industrial. Begitu pula tentang perencanaan. Hal itu tentu lebih merupakan keharusan pada masyarakat industri dari pada lainnya. Maka dengan sendirinya adanya sistem pembukuan, perkantoran dan apa saja yang bersangkutan dengan administrasi dan birokrasi adalah lebih diperlukan pada masyarakat industrial daripada masyarakat pertanian umpamanya. Keharusan seseorang harus tunduk kepada sistem birokrasi dan mekanismenya itu menghilangkan otonominya, dan membuatnya tidak berdaya mengadakan pilihan lain atau, dengan perkataan lain, ia terrpaksa bersikap fatalisitis! Segala sesuatu telah diatur dengan pasti. Kepastian itu terjelma dalam pengawasan segi-segi mendetil, yang melahirkan subnilai bahwa seseorang berharga atau berguna adalah setingkat dengan bidang keahliannya. Maka skill menjadi mutlak penting, dan bukan hanya “kebijaksanaan” atau “kearifan” saja, yang justeru hampir-hampir tanpa faedah bagi masyarakat industrial untuk industrinya. Selanjutnya tentu saja hal itu melahirkan rutinisasi, semuanya berjalan menurut aturan-aturan yang pasti, dapat diketahui permulaannya dan dapat diramalkan ujungnya.

Birokrasi itu mencakup sistem rasionalitas ekonomi, pembagian kerja yang canggih dan perangai-perangai resmi yang saling terjalin secara sempurna. Nilai-nilai itu berfungsi untuk menjaga cara kerja yang konsisten dan rajin serta mewujudkan tujuan-tujuan produksi jangka panjang. Dengan begitu terciptalah apa yang disebut “mesin masyarakat” atau “masyarakat mesin”, yang di dalamnya kerja keras dan produktif menjadi sumber penghargaan atas seseorang.


Tantangan Umat Beragama Pada Abad Modern

Nampaknya modernisasi dalam segala aspek telah berhasil membuat manusia acuh terhadap agama atau bahkan anti agama. Manusia merasa tidak lagi memmbutuhkan agama karena agama telah kehilangan fungsinya ketika ilmu pengetahuan alam dan sosial telah berkembang sedemikan pesat.

Mereka menyatakan: pada masa lalu manusia tidak mampu mengungkapkan fenomena-fenomena alam yang dihadapinya, oleh karena manusia mencari jalan keluarnya dan mengatakan perbuatan Tuhan. Sedangkan pada masa sekarang semua masalah fenomena alam tersebut telah terjawab oleh manusia tidak lagi membutuhkan agama atau Tuhan untuk menyandarkan diri, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Friederich Nietzsche dan Marice Dirac.
Sesungguhnya apabila ilmu pengetahuan kita jadikan sebagai sebuah pemikiran yang berdiri sendiri, terpisah dari agama, maka ia akan menjadi nihil sama sekali bagi manusia dan kemanusiaan!.

Manusia abad ini, kembali seperti Ibrahim saat ia belum menjadi Rasul, bedanya Ibrahim sampai pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui Tuhan kecuali dengan Tuhan.
Mau kemana manusia ini akan pergi? Tidak ada jawaban selain dari memilih jalan Tuhan Yang Mahabenar bagi mereka yang menginginkan petunjuk, “maka kemanakah kamu akan pergi? Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, [yaitu] bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (QS. At-takwir: 26-28).


Pemuda Persis dalam Modernisasi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan salah satu implikasi modernisme mengalir cepat menembus batas-batas rasional masyarakat. Masyarakat sudah tidak diberikan waktu untuk memilih, menerima atau menolaknya. Seolah-olah masyarakat dunia diberikan kesempatan hanya untuk menyaksikan, menjadi penonton, dan terkadang sekaligus menjadi penikmat dan tidak bisa mempunyai waktu untuk menyusun kekuatan pembendung arus yang semakin semakin dahsyat.

Modernisme yang merupakan anak kandung dari worldview Barat mencoba menembus batas kultural yang sama sekali berbeda dengannya. Modernitas adalah kenyataan dan merupakan hal yang mustahil melarikan diri dari modernitas tersebut.

Ada pun Pemuda Persis dalam menyikapi hal tersebut dengan cara proporsional, tidak secara berlebihan, yakni segala sesuatu yang datang dari Barat Pemuda Persis berusaha bersikap kritis dan obyektif. Barat adalah peradaban asing yang berbeda dengan Islam pada banyak hal. Tidak semua yang lahir dari Barat itu baik dan tidak semuanya buruk. Barat perlu dikaji secara cermat dan dan serius sampai ke akar-akarnya.

Berdasarkan pasal 4 QA/QD Pemuda Persis, Pemuda Persis bertujuan agar para anggotanya dan kaum muslimin memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan aqidah, syariah, dan akhlaq Islam berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah dalam segala ruang dan waktu.

Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, kader Pemuda Pesis akan dihadapkan kepada realitas konteks sosio-historis yang sangat heterogen. Tujuan sebagai  sebuah nilai idealitas harus dapat bertransformasi dalam menghadapi realitas. Realitas dapat dimaknai berupa problematika kekinian dan prediksi-prediksi yang mengarah pada kecenderungan di masa depan.

Transformasi yang dilakukan dikonstruksi dari aspek-aspek fundamental kehidupan masyarakat yang dimana Pemuda Persis berada di dalamnya. Hal ini perlu dilakukan, karena Pemuda Persis lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat dan bertanggung jawab terhadap kondisi masyarakat serta diharapkan mampu merekayasa arah dari perkembangan suatu masyarakat. Kondisi itu dapat dilakukan jika Pemuda Persis mampu mambaca kondisi realita (realitas obyektif) dengan baik. Oleh sebab itu, kader Pemuda Persis diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai yang masih dalam tataran idealitas (realitas subyektif), berupa tujuan Pemuda Persis kepada realitas obyektif kondisi bangsa Indonesia pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya.


KESIMPULAN

Zaman kita sekarang ini ditandai oleh kecepatan perubahan pola hidup masyarakat. Modal internasional dan teknologi, jaringan lalu lintas dan komunikasi telah menyulap kota-kota besar sedunia menjadi semakin mirip satu sama lain, entah terletak di daerah kebudayaan Arab, Amerika, Asia, Australia, Melayu, bahkan di Indonesia. Melalui radio, televisi, dan media Internet orang di daerah pun berhadapan dengan klise cara hidup “moderen” yang jauh berlainan dari hidup yang mereka jalankan sendiri. Lebih dari itu, pola hidup “moderen” sendiri menyerap sampai ke pelosok-pelosok dengan perantaraan sekolah-sekolah dan melalui perusahaan-perusahaan gaya baru yang memakai standar-standar kerja internasional.

Para penganut paradigma moderenisasi berpihak pada pandangan bahwa perubahan sosial terjadi oleh pengaruh moderenisasi yang berkembang dari Barat. Pemikiran moderenisasi selalu didasarkan pada Revolusi Industeri di Inggris dan Revolusi Politik di Prancis. Akibat revolusi ini telah membawa perubahan-perubahan di dunia baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan.

Fenomena kehidupan manusia pada zaman sekarang kita ini sarat dengan modernitas, kecanggihan dan kemudahan. Semua yang ada serba cepat dan canggih. Interaksi antar manusia semakin mudah. Dimanapun orang berada, komunikasi selalu bisa dilakukan. Tranportasi bukan lagi menjadi masalah, kemanapun kita pergi berbagai macam kendaraan telah tersedia. Gedung-gedung terus dibangun semakin tinggi dan mewah. Semuanya itu mencerminkan bahwa umat manusia sudah menginjak sebuah peradaban yang “modern”.

Perubahan cara hidup itu tak dapat tidak mempunyai pengaruh mendalam atas sikap hidup orang yang mengalaminya. Keadaan kesatuan kebudayaan dan tata cara hidup yang diakui oleh semua kalau bisa di bilang sudah tidak ada lagi. Mobilitas orang kebanyakan pun bertambah sehingga ia banyak bergaul dengan orang yang beradat istiadat dan berpandangan lain. Pola hidup yang tradisional ditantang oleh adanya pola-pola alternatif. Dengan sendirinya sikap-sikap tradisional pun ikut di persoalkan. Bukan satu atau dua sikap yang mulai diragukan, melainkan seluruh kepastian sikap-sikap mulai goncang. Penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk diliputi keragu-raguan. Dalam proses itu penjamin tata cara hidup tradisional masyarakat goyang kedudukannya.

Otoritas adat istiadat dan agama tidak diakui lagi begitu saja. Ikatan-ikatan keluarga mulai mengendor.  Pergaulan muda-mudi menyeleweng jauh dari apa yang dianggap pantas oleh generasi lama. Dengan lain kata, norma-norma kelakuan tradisional telah kehilangan kepastiannya.

Tetapi dengan kepastian hidup sendiri. Terciptalah suatu vakuum yang diliputi kebingungan dan kebimbangan. Orang dalam keadaan itu akan mencari orientasi baru. Itulah kesempatan bagi kita sebagai Pemuda PERSIS dengan modal bassic skill seperti karakteristik Rasululloh, yaitu sidiq, amanah, fathonah, dan tabligh untuk mengemudikan masyarakat kearah Quran-Sunnah dalam aplikatif bukan hanya sekedar konsep, dengan lain kata membumikan Quran-Sunnah untuk melangitkan manusia  dalam segala ruang dan waktu.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Quran al-Karim
  2. Bachtiar, Wardi, Sosiologi Klasik, dari Comte hingga Parsons, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2010
  3. Bertens, K, Panorama Filsafat Modern, Teraju. Jakarta Selatan. 2005
  4.  Ebenstein, William, Isme-isme Dewasa Ini, Swada, 1961
  5. Hardiman, Budi, F. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius, Yogyakarta, 2003
  6. Hassan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme. Dunia Pustaka Jaya, 1992
  7. Ismail, Muhammad Al-Husaini, Kebenaran Mutlak, Sahara, 2006
  8. M.Saefuddin,Ahmad, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung, 1987
  9. Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, Dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1987
  10. Magnis, Franz von, Etika Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1975
  11. Magnis-Suseno, Franz, Etika Politik, Prinsip-prinsip Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
  12. Magnis-Suseno, Franz, Etanisius Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987
  13. Mahfud,  Choirul, 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia, dari Socrates sampai Barack Obama, Jaring Pena, Surabaya, 2009
  14. Marx, K dan engels, F, Kritik Atas Kritik yang Kritikal, Hasta Mitra, 2005
  15. Pemuda Persis, QA-QD, 2010-2015
  16. Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996

Read more

Sabtu, 14 April 2012

Kultur Dalam Management

0


Definisi

Defini umum dari filsafat managemen adalah Seperangkat keyakinan seperti yang digunakan oleh individu dalam posisi manajemen untuk memandu proses pengambilan keputusan.

Dalam sebuah management, filsafat management menjadi suatu hal yang sangat penting, mengingat hal ini adalah seperti sebuah buku panduan yang bisa memberikan arah terhadap management yang sedang dipakai oleh suatu perusahaan.

Filsafat management ini akan membantu para manager untuk mengatur sistem yang sedang dijalankannya. baik itu dari segi pengolahan karyawan, pengolahan sistem kerja bahkan pengolahan laporan dan perekrutan pekerja

dalam menjalankan suatu sistem management, ada beberapa filosofi penting yang harus terdapat ketika menjalankan managemen, yaitu :

  • Culture / Adat:
Dalam sebuah management, kita harus membangun sebuah kultur. lalu mengapa kita harus membangun sebuah kultur? karena didalam sebuah perusahaan terdapat banyak ketidak seragaman sifat, baik itu karyawana maupun tingkat manager dan direksi. sehingga terkadang sering terjadi "tubrukan" yang menyebabkan kepercayaan dan dendam didalam kantor.

Dengan kultur, hal ini setidaknya bisa diredam, karena kultur bisa membatasi tingkah laku pegawai yang sudah tidak sesuai dengan ketentuan kantor. sebagai contoh kultur dai perusahaan "berdikari" adalah muda, transparan dan pemaaf. maka jika ada salah seorang pegawai yang tidak menjalankan kultur yang sudah di terapkan perusahaan maka secara moral ia sudah tidak layak untuk bekerja di perusahaan "berdikari".

Jika hal ini di biarkan maka bisa berakibat perusahaan kehilangan loyalitas pegawai bahkan mutu dari perusahaan bahkan tidak mustahil juga akan berdampak terhadap menurunnya profit dan konsumen perusahaan tersebut.

  • Kultur Untuk Menyeleksi Pekerja Baru
Kultur juga bisa di gunakan untuk menyaring atau menyeleksi karyawan baru yang akan masuk. proses perekrutan pekerja tidaklah segampang kelihatannya. banyak hal-hal lain yang harus dipertimbangkan dari pelamar selain dari segi skill dan history kerja nya.
banyak anggapan bahwa pekerja yang sudah punya daftar riwayat pekerjaan yang banyak adalah lebih bagus dari pada pelamar yang mempunyai sedikit portofolio. sebenarnya hal ini tidak begitu berpengaruh, karena bisa saja dia punya portofolio dikarenakan ia tidak pernah bekerja lebih dari 3 bulan di suatu perusahaan. oleha karena itu hal ini belum tentu bisa menjamin kualitas suatu pelamar.

Namun dengan kultur kita bisa menyaring pelamar untuk bisa mengadaptasikan skill dan tingkah lakunya sesuai dengan kultur yang berlaku di persuhaan. dengan diseragamkan nya kultur, akan membentuk mind-set pekerja untuk bekerja sesuai dengan visi dan misi perusahaan. sesuai dengan pengalaman saya, rata-rata perusahaan yang memiliki kultur yang pekat bisa lebih sukses dan bisa lebih memberi citra terhadap pelanggan.

Read more

Filsafat Pancasila

0


Pengertian Filsafat

Istilah ‘filsafat’ secara etimologis merupakan padanan kata falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris) yang berasal dari bahasa Yunani (philosophia).
Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terususun dari kata philos atau philein yang berarti kekasih, sahabat, mencintai dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan, hikmat, kearifan, pengetahuan.
Dengan demikian philosophia secara harafiah berarti mencintai kebijaksanaan, mencintai hikmat atau mencintai pengetahuan.
Cinta mempunyai pengertian yang luas. Sedangkan kebijaksanaan mempunyai arti yang bermacam-macam yang berbeda satu dari yang lainnya.

Ada beberapa pengertian filsafat, yaitu:
Filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk.
Filsafat sebagai ilmu atau metode dan filsafat sebagai pandangan hidup
Filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis.
Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup, dan dalam arti praktis.
Ini berarti Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia.

Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
Pancasila dikatakan sebahai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem (Ruslan Abdul Gani).
Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan penngertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasila

Makna dan implikasi kedudukan pancasila sebagai pandngan hidup bangsa dan dasar filsafat
• Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
• Sebelum Pancasila disahkan sebagai dasar filsafat, nilai-nilai Pancasila sudah ada pada diri bangsa Indonesia yang dijadikan sebagai pandangan hidup, misalnya nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, keagamaan serta sebagai kausa materialis Pancasila.
• Jadi Bangsa Indonesia dan Pancasila tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia.
• Pandangan hidup dan filsafat hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad untuk mewujudkannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Dari Pandangan hidup dapat diketahui cita-cita dan gagasan-gagasan yang akan diwujudkan bangsa Indonesia.
• Di dalam Pancasila terdapat tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan kerokhanian bangsa yang menjadi ciri masyarakat, sehingga Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara
Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 telah mengesahkan pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila sebagai dasar filsafat negara.Pengesahan ini telah menempatkan pancasila sebagai kaidah pokok negara.

Kedudukan pancasila sebagai pokok negara mempunyai implikasi sebagai berikut :
• Sumber dari segala sumber hukum
• Melekat pada kelangsungan hidup negara Proklamasi 17 agustus 1945
• Bersifat imperatif

Kedudukan pancasila sebagai dasar negara dapat dibedakan atas 3 tingkatan :
• Sebagai dasar negara yang bersifat abstrak-universal seperti tercantum dalam pembukaan
• Sebagai pedoman penyelengaraan negara yang bersifat umum kolektif seperti tercantum pada batang tubuh UUD
• Seperti petunjuk kebijakan penyelenggaraan negara yang bersifat khusus-konkret seperti terdapat pada UU,PP,Peraturan Presiden

Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat dapat dilakukan dengan cara :
• Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif.
• Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat.
Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.

Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut:
• Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
• Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5;
• Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5;
• Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5;
• Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.

Inti sila-sila Pancasila meliputi:
• Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
• Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
• Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
• Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
• Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu

Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2256910-pancasila-sebagai-sistem-filsafat/#ixzz1qtySrt7V

Read more

Sabtu, 31 Maret 2012

Seni, Beberapa unsur yang berhubungan dengannya

0


Kata ini (seni) ada yang mengartikan adalah bagian dari diri manusia, mengingat tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kadar standar seni yang tidak bisa diukur oleh orang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa seni itu merupakan sinonim dari ilmu, mengingat seni digunakan untuk menilai sesuatu yang sudah tidak bisa diukur dengan ilmu-ilmu yang lain. Maka dengan inilah seni bisa dianggap sebagai bagian dari ilmu. Namun ada yang berbeda dari penggunaan ilmu ini (seni) kenapa berbeda? Ini dikarenakan tidak adanya standarisasi baik itu secara nasional atau internasional tentang penilaian menggunakan seni.

Menurut kamus bahasa Indonesia, seni merupakan karya-karya yang diciptakan dengan bakat seperti sajak, musik, lukisan dan lain-lain. Seni harus mencakupi nilai moral yang bisa memberikan kesan kepada masyarakat atau khalayak yang menikmati hasil dari seni itu sendiri. Lowenfeld (1983) mengatakan setiap masyarakat mulai dari yang primitif sampai modern paling sering mengekspresikan diri atau kaumnya melalui seni. Dia juga mengatakan bahwa kebanyakan anak muda menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan musik sebenarnya ia sedang belajar dan mengembangkan tentang konsep yang ada pada seni itu atau yang kebetulan cocok dengan dirinya.

Hal yang dinamis sudah menjadi sifat yang melekat kepada seni, namun hal ini pula yang bisa menjadi sarana untuk mendidik anak kecil dengan sangat mudah. Oleh karena itu banyak ibu-ibu yang sedang hamil sampai metode pembelajaran anak-anak yang menggunakan lagu sebagai sarana untuk membuat anak menjadi lebih hafal pelajaran-pelajaran. Seni selalu menyuguhkan suatu konsep yang diluar nalar atau metafisik yang bisa memberi kebebasan bagi setiap orang yang menikmatinya.


Muharram (1991) menyatakan seni atau Kesenian secara umumnya dikenal sebagai rasa keindahan dan rasa keharuan yang bisa melengkapi keindahan dan kesejahteraan hidup. Mungkin pandangan seperti ini terkuak ketika melihat seni sebagai suatu rasa keindahan dan terlebih lagi mungkin jika kita sedang ada dalam keharuan musik bisa lebih mewakili rasa sedih kita ketimbang dengan berteriak atau menghancurkan sesuatu yang masih bermanfaat. Oleh karena itu, di sini musik bisa berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan rasa kesedihan dan keharuan yang bisa mewakili bahkan tidak jarang menyembuhkan kita.

Tapi terkadang ada satu yang terlupakan, yaitu seni juga bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan kejahatan atau penyimpangan-penyimpangan yang mengatas-namakan seni dalam prakteknya. Mungkin karena hal ini diawali oleh penafsiran seni yang tidak ada standarisasi atau ukurannya. Sehingga setiap orang merasa bebas untuk mengekspresikan seninya berdasarkan keperluan bahkan bisnis pribadinya tanpa menghiraukan poin penting dari seni yang selalu terlupa yaitu, seni sering meninggalkan pesan moral yang bisa meninggalkan pesan bagi penikmatnya.

Namun yang masih sangat sulit untuk diukur adalah di mana seorang pekerja seni itu disewa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan tentang seni, maka nilai dari hasil seni yang dihasilkannya seolah-olah tidak ada. Bahkan cenderung sangat murah bila dibandingkan dengan pekerja seni lepas yang sering kita temui di jalan-jalan. Rasanya perlu ada undang-undang khusus untuk kata ini, mengingat banyaknya kemajuan bahkan tingkah laku yang dihasilkan oleh satu kata  yang bisa mengubah pandangan kita terhadap sesuatu yang tidak memiliki satu kata ini.  Contoh kecil dan sebagai penutup, perbandingan antara menara Monas Jakarta dengan menara Eiffel Prancis,, 

Read more

Sabtu, 22 Oktober 2011

Jenis-Jenis Sejarah Dalam Pandangan Hegel

0




Berangkat dari kesepakatan lalu, tepatnya hari rabu tanggal 28 juli 2010, saya dan saudara Rais sebagai sesama mahasiswa Aqidah Filsafat akan coba saling memaparkan pemahamannya perihal pembagian sejarah menurut Hegel, yang dijadwalkan pada hari sabtu tanggal 31 Juli 2010, pukul tiga sore. Sebut saja ini semacam sharing pemahaman perihal konsep yang sama-sama kami baca.

Dalam tulisan ini, saya bukan hendak memperbincangkan dialektika Hegel atau pun memperbincangkan apa itu diskusi. Yang ingin saya sampaikan adalah jenis-jenis sejarah menurut Hegel. Mengingat Hegel sendiri besar perhatiannya pada kajian sejarah. Ia sendiri menulis buku berjudul Filsafat Sejarah (Rechtsphilosophie), yang di dalam bukunya banyak orang berpendapat bahwa Hegel tidak sedang menulis sejarah melainkan sedang menulis filsafat. Sejarah itu sendiri dalam perspektif Hegel tidak bisa lepas dari apa yang ia namakan Yang Absolut ( atau “Roh”, “Idea”, “Rasio”) sebagai pondasi dasar sistem filsafatnya.


Jenis-jenis Sejarah

Sejauh tangkapan saya yang sederhana dalam buku Filsafat Sejarah karya Hegel ( Terjemahan, Cuk Ananta Wijaya ), sejarah dalam pandangan Hegel dibagi menjadi tiga. Yaitu:
  • Sejarah Asli,
  • Sejarah Reflektif,
  • dan Sejarah Filsafati.

Mengenai jenis yang pertama, penyebutan salah satu atau dua nama yang terkenal akan memberikan warna yang khas. Kategori ini diberikan oleh Herodotus, Thucydides, dan para sejarawan lain yang memiliki orde yang sama, yang pemaparannya sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan dihadapan mereka, dan mereka turut ambil bagian di dalam semangatnya. Mereka secara sederhana memindahkan apa yang berlangsung di dunia sekitar mereka, kawasan intelek representative, Sebuah fenomenon lahir, dengan demikian, diterjemahkan menjadi sebuah konsepsi batin. Dengan cara yang sama, penyair bekerja dengan bahan yang diberikan kepadanya oleh perasaannya; memproyeksikannya menjadi sebuah citra tentang kemampuan konseptif. Adalah benar, para sejarawan asli menemukan pernyataan dan cerita tentang orang lain yang ada di tangan. Orang tidak dapat menjadi saksi nyata atau pun telinga atas segala sesuatu. Namun mereka mendapatkan bantuan seperti itu hanya sebagai penyair karena warisan bahasa yang telah terbentuk, dengan itu ia mendapatkan banyak; semata-mata hanya sebagai bahan. Para sejarawan merangkai unsure-unsur cerita yang cepat berlalu dan menyimpannya untuk diabadikan di dalam kuil Mnemosyne.

¨ Legenda, cerita balada, tradisi harus disingkirkan dari Sejarah Asli ¨ Ini tidak lain merupakan bentuk pemahaman sejarah yang samar dan tidak jelas, karenanya menjadi milik bangsa yang baru bangun kecerdasannya. Sebaliknya, di sini kita harus berhubungan dengan bangsa yang sepenuhnya sadar terhadap apa yang mereka miliki dan apa yang mereka dambakan. Kawasan realitas—yang nyata-nyata terlihat, atau yang dapat dilihat—memberikan dasar yang sangat berbeda dalam hal ketegasan dengan unsur yang lekas hilang dan bersifat khayal, di situ dilahirkan legenda dan mimpi puitis yang kehilangan nilai historisnya, segera sesudah bangsa tersebut mencapai kematangan individualitasnya. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:1-2)

Para Sejarawan Asli tersebut kemudian mengubah peristiwa, perbuatan dan keadaan masyarakat yang mereka kenal menjadi sebuah objek kemampuan konseptif. Oleh karena itu, cerita yang mereka tinggalkan kepada kita tidak dapat terpahami sepenuhnya. Herodotus, Thucydides, Guicciardini dapat dikelompokan sebagai contoh golongan ini. Apa yang hadir dan hidup di lingkungan mereka adalah bahan yang tepat. Berbagai pengaruh yang membentuk penulis identik dengan yang membentuk peristiwa yang merupakan materi ceritanya. Semangat pengarang, dan berbagai perbuatan yang dia ceritakan, adalah satu dan sama. 


Dia memaparkan kancah tempat dia sendiri menjadi salah seorang pelakunya atau, sampai tingkat tertentu, menjadi seorang penonton yang penuh perhatian. Adalah periode waktu yang pendek, berbagai bentuk persona dan kejadian individual, tunggal, sifat yang tidak terlukiskan, dari situlah dia menciptakan gambarnya. Dan tujuannya tidak lain daripada penyajian keturunan (posterity) sebuah cerita peristiwa yang sama jelasnya dengan yang dimilikinya sendiri berdasarkan observasi pribadi, atau deskrifsi yang sehidup mungkin. Permenungan bukan merupakan urusannya, karena dia hidup dalam ruh subjek. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:2-3 )

Dalam Sejarah Asli, unsur yang sifatnya khayali seperti halnya legenda harus disingkirkan. Sejarah jenis ini mendasarkan dirinya pada sepenuhnya fakta yang terjadi di sekitar penulis sejarah. Dan penulis sejarah itu sendiri berada di dalam sejarah yang ia tulis sendiri, baik sebagai pelaku sejarah maupun penonton yang penuh perhatian. Itulah sejarah yang hidup dalam ruh subjek jauh dari ketinggian ruh absolut.

Sejarah jenis kedua, disebut sebagai Sejarah Reflektif. Sejarah ini pun terbagi lagi menjadi empat jenis. Namun, berbeda dengan jenis Sejarah Asli, Sejarah Reflektif oleh Hegel diberi pengertian sebagai sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa kini. Jika dalam Sejarah Asli seorang penulis sejarah berada di dalam sejarah yang ia tulis, sama-sama berada dalam ruh zaman yang ditulisnya, maka Sejarah Reflektif tidak seperti itu. Seorang penulis sejarah jenis kedua ini tidak terbatasi oleh waktu, tempat dan kebudayaan, ia bisa saja menyajikan sejarah suatu zaman berbeda dengan Ruh dirinya sebagai penulis.

Ada Sejarah Reflektif yang sifatnya pragmatis. Sejarah jenis ini ditulis untuk diambil manfaatnya. Seperti model sejarah yang ditulis oleh Johannes v. Muller yaitu Sejarah Swiss yang Nampak memiliki tujuan moral. Dia menulis sejarah itu, bermaksud menyiapkan satu badan ajaran politik untuk diajarkan pada pangeran, pemerintah dan rakyat.

Kemudian, Sejarah Reflektif yang ditulis hanya untuk sekedar mendapat pandangan tentang suatu bangsa dan Negara, atau tentang dunia. Sejarah jenis ini ditulis mirip dengan Sejarah Asli, manakala ia ditulis tidak memiliki tujuan yang lebih jauh daripada untuk menyajikan sejarah sebuah negeri yang lebih utuh. Penulis sejarah jenis ini menulis sejarah sedemikian jelasnya sehingga pembaca seolah dapat mengkhayalkan dirinya menjadi saksi mata atas peristiwa yang dicerita dalam sejarah. Meskipun efeknya pada pembaca bisa sedemikian nyata, perlu dicatat sejarah jenis ini tidak seperti Sejarah Asli, yang penulisnya berada dalam satu orde dan ruh sejarah yang ditulisnya. Penulis Sejarah Reflektif ini tidak terikat ruang dan waktu saat sejarah itu terjadi, ia bahkan berbeda kebudayaan dan zamannya.

Bentuk Sejarah Reflektif yang ketiga adalah yang bersifat Kritis. Bentuk ini pantas disebut sebagai cara menceritakan sejarah yang unggul. Bukan sejarah itu sendiri yang dihadirkan di sini. Kita mungkin lebih tepat menunjukannya sebagai sebuah sejarah tentang sejarah; sebuah kritik terhadap penceritaan sejarah dan sebuah pengkajian atas kebenaran dan kredibilitasnya. Kekhususannya dalam kenyataan dan tujuan, terkandung di dalam ketajaman penulis memeras segala sesuatu dari catatan yang tidak terdapat dalam materi yang tercatat(J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:10) . Model penulisan sejarah ini lebih bersifat menggugat dan menentang fakta sejarah yang telah ditetapkan dengan baik.

Lalu yang terakhir Sejarah Reflektif yang sifatnya tematik, seperti halnya Sejarah Seni, Hukum atau Agama. Sejarah jenis ini menunjukan ketidaklengkapannya karena ia hany disajikan berdasar tema-tema tertentu.

Yang berikutnya yaitu sejarah jenis ketiga, adalah Sejarah Filsafati seyogyanya sejarah jenis ini mendapatkan ruang yang luas untuk dituliskan di sini. Mengingat di sinilah point-point pemikiran Filsafat Sejarah Hegel tertuang dan jenis Sejarah Filsafatilah yang Hegel di dalamnya bergelut. Namun, karena keterbatasan saya dalam memahami pemikiran Hegel ini, maka saya hanya akan menuliskan sangat sedikit kefahaman perihal pemikiran Hegel yang satu ini. Dimulai dari definisi umum yang Hegel paparkan perihal Filsafat Sejarah atau Sejarah Filsafati. Yaitu, bahwa Filsafat Sejarah tidak menggunakan sarana apa pun kecuali pertimbangan pemikirannya terhadapnya. Bagi Hegel, pemikiran adalah unsur yang tetap dan hakiki bagi kemanusiaan.

Kemudian Hegel menggunakan kata Rasio. Rasio adalah penguasa dunia, dengan demikian, sejarah dunia memberikan proses yang rasional pada kita. Proses yang rasional bagi saya adalah proses yang bisa terpahami dan pada dirinya adalah proses yang sadar diri. Lalu apakah yang sadar diri itu? Materikah? Atau Ruh kah? Materi dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang saling menyisihkan oleh karenanya Materi bersifat menghancurkan dirinya. Jika Materi sampai pada titik yang tak dapat dibagi lagi, ia tidak lagi menjadi Materi, ia telah lenyap bersatu pada sesuatu yang lain yang menjadi pusatnya. Sedangkan Ruh berbeda dengan Materi yang berpusat pada sesuatu di luar dirinya (Materi memiliki gaya berat), Ruh tidak seperti itu, ia adalah sesuatu yang berpusat pada dirinya sendiri. Ruh adalah eksistensi yang mengandung dirinya sendiri. Ia bebas, tidak tergantung pada sesuatu di luar dirinya melainkan bergantung pada dirinya sendiri. Itulah yang disebut kesadaran diri menurut Hegel. Kesadaran diri berarti kebebasan.

Dan sejarah bagi Hegel adalah gerak kebebasan. Sejarah dimulai dari kekurangbebasan, Ruh Dunia yang kurang sadar diri. Sejarah berjalan linier. Dimulai dari Orang Timur. Orang Timur telah tahu bahwa ¨ manusia itu bebas ¨ namun kebebasannya hanyalah aksidensi dari Alam. Alam pikiran manusia masih dikuasai oleh bayang-bayang kekuasaan Alam yang serba misterius. Kemudian, kesadaran akan kebebasan lahir di Yunani dan Romawi. Itu pun hanya sebagian manusia, tidak manusia secara utuh. Sebagian manusia masih berada di dalam bayang-bayang perbudakan. Kebebasan tumbuh dan berlaku bagi sebagian manusia, sifatnya terbatas dan sementara saja. Maka bangsa Jerman, di bawah pengaruh agama kristenlah yang benar-benar mencapai taraf kesadaran dirinya yang utuh. Bahwa manusia sebagai manusia adalah bebas. Bangsa Jerman, bagi Hegel adalah model Ruh Dunia (yang sadar diri) mencapai kematangan sejarah yaitu kebebasan. Dan agama Kristen adalah inspirasinya.

Kira-kira begitulah hasil bacaan dan pemahaman saya perihal Sejarah Filsafati (atau Filsafat Sejarah) yang lebih berfokus pada “Yang Ada” yang eksis jadi penggerak dunia. Yaitu, Ruh Dunia (atau “Rasio”) yang bergerak menuju kebebasan, keabadian, kesatuan atau absolutisme.

Read more

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting